Sunday, June 10, 2007

perpetrator and injustice

enforcer punish oftentimes drop behind at full speed of technological growth.
eyewitness boldness very difficult to be obtained, considering this doing an injustice perpetrator usually conduct its action alone


Maka untuk membedakan apakah akta tersebut akta otentik atau akta di bawah tangan yang harus kita perhatikan adalah dilihat dari terbentuknya akta tersebut, apabila akta tersebut dibuat di hadapan atau dibuatkan oleh pejabat yang berwenang (notaris) maka akta tersebut adalah akta otentik. Apabila akta tersebut tidak memenuhi hal di atas maka akta itu adalah akta di bawah tangan.
Alat bukti elektronik tidak dikenal di dalam KUHP. Namun demikian tidak berarti bila terjadi suatu perkara kejahatan dengan menggunakan komputer pelaku kejahatan tersebut lolos dari jeratan hukum. Dalam kejahatan komputer, ketentuan pasal 183 KUHAP dapat diterapkan meskipun perlu pembuktian lebih lanjut. Alat bukti yang mungkin ditemukan dalam suatu transaksi jika, berdasarkan pasal 184 KUHAP; keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Namun biasanya keterangan saksi sangat sulit untuk diperoleh, mengingat pelaku tindak pidana ini biasanya melakukan aksinya secara sendirian. Paling mungkin jika terjadi penyertaan, maka antara pelaku dapat menjadi saksi bagi yang lainnya
Bila keterangan saksi dan keterangan terdakwa tidak diketemukan, maka petunjuk dapat diperoleh dari surat atau dokumen yang yang diketemukan, yang tentunya harus diketemukan persesuaian satu dengan yang lainnya mengenai alat bukti tersebut. Jika terdapat kesamaan bentuk, metoda atau cara dalam melakukan suatu kejahatan komputer (contoh: hacking komputer) maka dari situ akan diperoleh petunjuk (bukti awal), yang nantinya tetap harus dibuktikan dengan bantuan seorang ahli untuk menjelaskan kasus tersebut.
Unsur penegak hukum seringkali tertinggal dengan pesatnya perkembangan teknologi, jarak yang tercipta antara penegak hukum dengan teknologi juga kurang diantisipasi. Keadaan seperti ini terus berlanjut, sehingga menjadikan jalannya penegakan hukum atas kejahatan atau perselisihan yang berkaitan dengan pengunaan teknologi menjadi terhambat. Hal ini diperparah dengan kurang tanggapnya individu penegak hukum itu sendiri untuk memperkaya dirinya dengan pengetahuan baru yang terkait dengan teknologi.
Fasilitas yang kurang memadai juga merupakan penghambat bagi para aparat penegak hukum dalam menindaklanjuti perkara-perkara yang terkait dengan segala sesuatu yang berbau teknologi. Dalam memutuskan suatu perkara yang berkaitan dengan penggunaan teknologi sebagai basisnya, hakim terkadang masih meraba sampai sejauh mana hal tersebut dapat terbukti dan dapat diputus dengan adil.
Hal ini nampak dari putusan yang dikeluarkan berkenaan dengan suatu perkara yang menyangkut masalah teknologi informasi belakangan ini, perkara yang dilihat oleh beberapa pakar teknologi informasi sebagai perkara yang berat hukumannya, namun setelah diputus ternyata pelaku dapat bebas tanpa syarat. Hal ini juga berlaku bagi jaksa dan pembela dalam kasus pidana. Keterbatasan fasilitas tersebut menjadikan putusan, tuntutan atau pembelaan yang diajukan menjadi terkesan seadanya.
Pada saat terjadinya ekses negatif tersebut tentunya masyarakat pengguna membutuhkan suatu kepastian bahwa mereka akan mendapatkan keadilan. Hukum sebagai ujung tombak keadilan sekali lagi mendapat tantangan, apakah berhasil membawa keadilan bagi masyarakat.




No comments: