code of laws - Indonesian - 15/1985
Undang-Undang RI dapat di download di : http:// hukum-bisnis-hukum-bisnis.blogspot.com
Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU)
Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Nomor: 15 TAHUN 1985 (15/1985)
Tanggal: 30 DESEMBER 1985 (JAKARTA)
Sumber: LN 1985/74; TLN NO. 3317
Tentang: KETENAGALISTRIKAN
Indeks: ENERGI. Perusahaan Negara. Prasarana. Listrik.
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Presiden Republik Indonesia,
Menimbang :
a. bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, guna mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
b. bahwa tenaga listrik sangat penting artinya bagi peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat pada umumnya serta untuk mendorong peningkatan kegiatan ekonomi pada khususnya, dan oleh karenanya usaha penyediaan tenaga listrik, pemanfaatan, dan pengelolaannya perlu ditingkatkan, agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup dan merata dengan mutu pelayanan yang baik;
c. bahwa dalam rangka peningkatan pembangunan yang berkesinambungan di bidang ketenagalistrikan, diperlukan upaya untuk secara optimal memanfaatkan sumber-sumber energi untuk membangkitkan tenaga listrik, sehingga menjamin tersedianya tenaga listrik;
d. bahwa untuk mencapai maksud tersebut di atas dan karena Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasangan dan Penggunaan Saluran untuk Penerangan Listrik dan Pemindahan Tenaga dengan Listrik di Indonesia yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1890 Nomor 190 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 8 Pebruari 1934 (Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63) yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan dan kebutuhan pembangunan di bidang ketenagalistrikan, perlu disusun Undang-undang tentang Ketenagalistrikan;
Mengingat :
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG KETENAGALISTRIKAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :
1. Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik.
2. Tenaga listrik adalah salah satu bentuk energi sekunder yang dibangkitkan, ditransmisikan, dan didistribusikan untuk segala macam keperluan, dan bukan listrik yang dipakai untuk komunikasi atau isyarat.
3. Penyediaan tenaga listrik adalah pengadaan tenaga listrik mulai dari titik pembangkitan sampai dengan titik pemakaian.
4. Pemanfaatan tenaga listrik adalah penggunaan tenaga listrik mulai dari titik pemakaian.
5. Kuasa Usaha Ketenagalistrikan adalah kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah kepada badan usaha milik negara yang diserahi tugas semata-mata untuk melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum, dan diberi tugas untuk melakukan pekerjaan usaha penunjang tenaga listrik.
6. Izin Usaha Ketenagalistrikan adalah izin yang diberikan oleh Pemerintah kepada koperasi atau swasta untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum atau kepada koperasi, swasta, dan badan usaha milik negara atau lembaga negara lainnya untuk melakukan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri.
7. Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab dalam bidang ketenaga-listrikan.
BAB II
LANDASAN DAN TUJUAN
PEMBANGUNAN KETENAGALISTRIKAN
Pasal 2
Pembangunan ketenagalistrikan berlandaskan asas manfaat, asas adil dan merata, asas kepercayaan pada diri sendiri, dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 3
Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mendorong peningkatan kegiatan ekonomi.
BAB III
SUMBER ENERGI UNTUK TENAGA LISTRIK
Pasal 4
(1) Sumber daya alam yang merupakan sumber energi yang terdapat di seluruh Wilayah Republik Indonesia dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk berbagai tujuan termasuk untuk menjamin keperluan penyediaan tenaga listrik.
(2) Kebijaksanaan penyediaan dan pemanfaatan sumber energi untuk tenaga listrik ditetapkan Pemerintah dengan memperhatikan aspek keamanan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup.
BAB IV
PERENCANAAN UMUM KETENAGALISTRIKAN
Pasal 5
(1) Pemerintah menetapkan rencana umum ketenagalistrikan secara menyeluruh dan terpadu.
(2) Dalam menyusun rencana umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) Pemerintah wajib memperhatikan pikiran dan pandangan yang bidup dalam masyarakat.
BAB V
USAHA KETENAGALISTRIKAN
Pasal 6
(1) Usaha ketenagalistrikan terdiri dari :
a. usaha penyediaan tenaga listrik;
b. usaha penunjang tenaga listrik.
(2) Usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a dapat meliputi jenis usaha :
a. pembangkitan tenaga listrik;
b. transmisi tenaga listrik;
c. distribusi tenaga listrik.
(3) Usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b meliputi:
a. konsultansi yang berhubungan dengan ketenagalistrikan;
b. pembangunan dan pemasangan peralatan ketenagalistrikan;
c. pemeliharaan peralatan ketenagalistrikan;
d. pengembangan teknologi peralatan yang menunjang penyediaan tenaga listrik.
Pasal 7
(1) Usaha penyediaan tenaga listrik dilakukan oleh Negara dan diselenggarakan oleh badan usaha milik negara yang didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan.
(2) Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2), baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan.
(3) Izin Usaha Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dikecualikan bagi usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri yang jumlah kapasitasnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 8
Pemberian Izin Usaha Ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 9
Ketentuan mengenai usaha penunjang tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 10
Untuk melaksanakan pekerjaan-pekerjaan usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) yang belum atau tidak dapat dilaksanakan sendiri, Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dapat bekerja-sama dengan badan usaha lain setelah mendapat persetujuan Menteri.
Pasal 11
(1) Untuk kepentingan umum, Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum dalam melaksanakan usaha-usaha penyediaan tenaga listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) diberi kewenangan untuk :
a. melintasi sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan;
b. melintasi laut baik di atas maupun di bawah permukaan;
c. melintasi jalan umum dan jalan kereta api.
(2) Sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, untuk kepentingan umum Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum juga diberi kewenangan untuk :
a. masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu;
b. menggunakan tanah, melintas di atas atau di bawah tanah;
c. melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah;
d. menebang atau memotong tumbuh-tumbuhan yang menghalanginya.
Pasal 12
(1) Untuk kepentingan umum, mereka yang berhak atas tanah, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan mengizinkan Pemegang Kuasa Usaha Ketenaga-listrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum melaksanakan kewenangannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2), dengan mendapatkan imbalan ganti rugi kecuali tanah Negara, bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan.
(2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibebankan kepada Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum.
(3) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum baru dapat melakukan pekerjaannya setelah ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diselesaikan.
Pasal 13
Kewajiban untuk memberi ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 tidak berlaku terhadap mereka yang mendirikan bangunan, menanam tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain di atas tanah yang akan atau sudah digunakan untuk usaha penyediaan tenaga listrik dengan tujuan untuk memperoleh ganti rugi.
Pasal 14
Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB VI
HUBUNGAN ANTARA PEMEGANG KUASA USAHA
KETENAGALISTRIKAN DAN PEMEGANG IZIN USAHA
KETENAGALISTRIKAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM DENGAN
MASYARAKAT DALAM USAHA PENYEDIAAN TENAGA LISTRIK
Pasal 15
(1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum wajib :
a. menyediakan tenaga listrik;
b. memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada masyarakat;
c. memperhatikan keselamatan kerja dan keselamatan umum.
(2) Ketentuan tentang hubungan antara Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum dengan masyarakat yang menyangkut hak kewajiban, dan tanggung jawab masing-masing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 16
Pemerintah mengatur harga jual tenaga listrik.
BAB VII
PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN TENAGA LISTRIK
Pasal 17
Syarat-syarat penyediaan, pengusahaan, pemanfaatan, instalasi, dan standardisasi ketenagalistrikan diatur oleh Pemerintah.
BAB VIII
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 18
(1) Pemerintah melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap pekerjaan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan.
(2) Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)terutama meliputi keselamatan kerja, keselamatan umum, pengembangan usaha, dan tercapainya standardisasi dalam bidang ketenagalistrikan.
(3) Tata cara pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 19
Barang siapa menggunakan tenaga listrik yang bukan haknya merupakan tindak pidana pencurian sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 20
(1) Barang siapa melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tanpa Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Izin Usaha Ketenagalistrikan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3).
(3) Barang siapa melakukan usaha penyediaan tenaga listrik tidak memenuhi kewajiban terhadap yang berhak atas tanah, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan dicabut Usaha Ketenagalistrikannya.
Pasal 21
(1) Barang siapa karena kelalaiannya mengakibatkan matinya seseorang karena tenaga listrik, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.
(2) Apabila kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
(3) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan juga diwajibkan untuk memberi ganti rugi.
(4) Penetapan, tata cara, dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 22
(1) Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum yang tidak menaati ketentuan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikenakan pidana tambahan berupa pencabutan Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Pasal 23
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 adalah kejahatan.
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 adalah pelanggaran.
BAB X
PENYIDIKAN
Pasal 24
(1) Selain pejabat penyidik umum yang bertugas menyidik tindak pidana, penyidikan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya dapat juga dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang :
a. melakukan penelitian atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan;
b. melakukan penelitian terhadap orang atau badan yang diduga melakukan tindak pidana di bidang ketenagalistrikan;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang ketenagalistrikan;
d. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti dan melakukan penyitaan terhadap bahan yang dapat dijadikan bahan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang ketenagalistrikan;
e. melakukan tindakan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 25
Dengan berlakunya Undang-undang ini peraturan pelaksanaan di bidang ketenagalistrikan yang telah dikeluarkan berdasarkan Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasangan dan Penggunaan Saluran untuk Penerangan Listrik dan Pemindahan Tenaga dengan Listrik di Indonesia ("Bepalingen omtrent den aanleg en het gebruik van geleidingen voor electrische verlichting en het overbrengen van kracht door middel van electriciteit in Nederlandsch-Indie") yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1980 Nomor 190 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Ordonan- si tanggal 8 Pebruari 1934 yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63, tetap berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-undang ini atau belum diganti atau diubah berdasarkan Undang-undang ini.
BAB XII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 26
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasangan dan Penggunaan Saluran untuk Penerangan Listrik dan Pemindahan Tenaga dengan Listrik di Indonesia ("Bepalingen omtrent den aanleg en het gebruik van geleidingen voor electrische verlichting en het overbrengen van kracht door middel van electriciteit in Nederlandsch-Indie") yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1890 Nomor 190 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 8 Pebruari 1934 yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63, dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 27
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1985
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
SOEHARTO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 30 Desember 1985
MENTERI/SEKRETARIS NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
SUDHARMONO, S.H.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 15 TAHUN 1985
TENTANG
KETENAGALISTRIKAN
UMUM
Dalam upaya memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tenaga listrik merupakan cabang produksi yang penting bagi negara sebagai salah satu hasil pemanfaatan kekayaan alam yang menguasai hajat hidup orang banyak perlu dipergunakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Di samping itu tenaga listrik mempunyai kedudukan yang penting dalam pembangunan nasional pada umumnya dan sebagai salah satu pendorong kegiatan ekonomi pada khususnya dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Mengingat arti penting dan jangkauan ketenagalistrikan sebagaimana dimaksud di atas, maka penyediaan tenaga listrik dikuasai Negara, yang pelaksanaannya dilakukan oleh badan usaha milik negara melalui pemberian Kuasa Usaha.
Penyelenggaraan usaha penyediaan tenaga listrik yang cukup dalam jumlah, mutu, dan keandalannya dengan harga yang terjangkau masyarakat merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan seiring dengan upaya pemanfaatan semaksimal mungkin sumber-sumber energi bagi penyediaan tenaga listrik dengan tetap memperhatikan keamanan, keseimbangan, dan kelestarian lingkungan hidup.
Badan usaha milik negara yang melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik dibentuk untuk itu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan.
Dalam upaya memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara lebih merata dan untuk lebih meningkatkan kemampuan negara dalam hal penyediaan tenaga listrik baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan sendiri, sepanjang tidak merugikan kepentingan negara, dapat diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada koperasi dan badan usaha lain untuk menyediakan tenaga listrik berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan.
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum, dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik untuk kepentingan umum diberikan kewenangan untuk melakukan perbuatan tertentu sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku misalnya masuk ke tempat umum atau perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu, menggunakan tanah, melintas di atas atau di bawah tanah, melintas di atas atau di bawah bangunan yang dibangun di atas atau di bawah tanah, dan menebang atau memotong tumbuh-tumbuhan yang mengahalanginya.
Kewenangan tersebut diberikan demi untuk kepentingan umum dalam rangka menunjang kelancaran pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik itu sendiri. Namun demikian, karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka dalam Undang-undang ini juga ditegaskan hak-hak rakyat dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum terhadap rakyat. Di samping itu, apabila badan usaha lain baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum dan perorangan yang mendapatkan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Sendiri dalam melaksanakan usaha penyediaan tenaga listrik mempunyai kelebihan tenaga listrik, maka kelebihan tenaga listriknya dapat dijual untuk kepentingan umum. Untuk itu badan usaha lain tersebut harus mengajukan Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum terlebih dahulu kepada Pemerintah.
Hak-hak rakyat sebagaimana dimaksud di atas, antara lain untuk mendapatkan ganti rugi yang layak dan adil atas tanah atau kerusakan bangunan dalam rangka pelaksanaan usaha penyediaan tenaga listrik. Di samping itu rakyat berhak pula mendapatkan pelayanan yang wajar untuk memperoleh tenaga listrik, dengan mempertimbangkan kemampuan yang ada.
Karena tujuan pembangunan ketenagalistrikan untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, maka harga jual tenaga listrik diatur oleh Pemerintah agar dapat terjangkau oleh rakyat dalam bentuk harga yang wajar.
Dalam Undang-undang ini, selain diatur hak dan kewajiban Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan serta masyarakat yang menggunakan tenaga listrik, juga diatur sanksi yang cukup berat terhadap tindak pidana yang menyangkut ketenagalistrikan, mengingat sifat bahaya dari tenaga listrik dan akibat yang ditimbulkannya.
Mengenai kelalaian yang mengakibatkan matinya orang diatur secara khusus dalam Undang-undang ini, sedang ketentuan mengenai kejahatan terhadap nyawa, penganiayaan dan yang menyebabkan lukanya seseorang disebabkan karena tenaga listrik atau karena penyalahgunaan tenaga listrik sepanjang tidak diatur dalam Undang-undang ini berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana, sedangkan penggantian kerugian sebagai akibat dari hal tersebut di atas disesuaikan dengan Undang-undang yang berlaku. Di samping itu pembinaan dan pengawasan merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dan dalam Undang-undang ini mendapat perhatian, dengan memberikan kewenangan kepada Pemerintah untuk menetapkan pedomannya serta melakukan pengendalian, bimbingan, dan penyuluhan. Undang-undang ini dimaksudkan sebagai pengganti Ordonansi tanggal 13 September 1890 tentang Ketentuan Mengenai Pemasangan dan Penggunaan Saluran untuk Penerangan listrik dan Pemindahan Tenaga dengan Listrik di Indonesia ("Bepalingen omtrent den aanleg en het gebruik van geleidingen voor electrische verlichting en het overbrengen van kracht door middel van electriciteit in Nederlandsch Indie") yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1890 Nomor 190 yang telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Ordonansi tanggal 8 Pebruari 1934 yang dimuat dalam Staatsblad Tahun 1934 Nomor 63, yang selama ini digunakan sebagai pedoman pengaturan di bidang ketenagalistrikan, karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, sekaligus dalam rangka pembinaan hukum nasional sebagai pengamalan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Angka 1
Dalam Undang-undang ini digunakan istilah ketenagalistrikan, bukan listrik, kelistrikan, ataupun tenaga listrik karena :
a. listrik berarti meliputi tenaga listrik ("electric power") dan juga listrik untuk kepentingan komunikasi dan elektronika ("electronics');
b. kelistrikan berarti hal-hal yang menyangkut listrik;
c. tenaga listrik berarti hanya terbatas pada pengertian tenaganya ("power");
d. ketenagalistrikan berarti segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik termasuk usaha penunjangnya.
Angka 2
Cukup jelas
Angka 3
Titik pembangkitan adalah instalasi di mana tenaga listrik dibangkitkan.
Titik pemakaian adalah instalasi di mana tenaga listrik tersebut siap untuk dimanfaatkan.
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
Pasal 2
Pengertian pembangunan dalam pasal ini meliputi pengembangan dan pengusahaannya.
Asas manfaat yaitu bahwa pelaksanaan pembangunan ketenagalistrikan harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.
Asas adil dan merata yaitu bahwa hasil-hasil pembangunan ketenagalistrikan yang dicapai dalam pembangunan harus dapat dinikmati secara merata oleh seluruh rakyat.
Asas kepercayaan kepada diri sendiri yaitu bahwa segala usaha dan kegiatan dalam pembangunan ketenagalistrikan harus mampu membangkitkan kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri.
Pelaksanaan pembangunan ketenagalistrikan harus dilakukan dengan memperhatikan keseimbangan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan hidup.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Ayat (1)
Jenis sumber daya alam yang merupakan sumber energi yang ada dalam wilayah Negara Republik Indonesia, antara lain, adalah batu bara, minyak dan gas bumi, mineral radioaktif, air, panas bumi, sinar surya, angin, panas lautan, kayu, tumbuh-tumbuhan, dan biomassa lainnya serta sumber alam hewani.
Sumber energi yang terdapat dalam alam ini, yaitu sumber energi primer, ada yang langsung dapat digunakan (misalnya batubara dan kayu) dan ada yang harus diubah lebih dahulu menjadi energi sekunder sebelum dapat digunakan.
Salah satu bentuk energi sekunder yang dikenal adalah tenaga listrik. Sumber-sumber energi primer tersebut di atas, baik yang telah maupun yang belum diserahkan pengelolaannya kepada Departemen dan Lembaga Pemerintah Non Departemen dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk menjamin penyediaan tenaga listrik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 5
Ayat (1)
Rencana umum ketenagalistrikan adalah rencana yang terpadu meliputi ruang lingkup nasional, yang berisi kebijaksanaan, sasaran, dan sarana pengembangan ketenagalistrikan sebagai penjabaran Garis-garis Besar Haluan Negara yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan bagi Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan. Rencana umum termaksud, yang dinamakan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional, antara lain berisi perkiraan kebutuhan tenaga listrik, sasaran penyediaan tenaga listrik menurut sektor pemakai, daerah, jumlah desa dan rumah tangga yang akan memperoleh listrik ("electrification ratio"), sarana penyediaan tenaga listrik, jenis sumber energi primer, dan dana yang tidak diperlukan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Pasal 7
Ayat (1)
Tenaga listrik mempunyai kedudukan yang penting dalam kehidupan masyarakat, karena menguasai hajat hidup orang banyak, oleh karena itu usaha penyediaan tenaga listrik pada dasarnya dilakukan oleh negara.
Ayat (2)
Di samping badan usaha milik negara sebagai Pemegang Kuasa Ketenagalistrikan, sepanjang tidak merugikan kepentingan Negara, kepada koperasi dan badan usaha lain baik yang berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk badan hukum, diberikan kesempatan seluas-luasnya berdasarkan Izin Usaha Ketenagalistrikan, guna meningkatkan kemampuan negara dalam memenuhi kebutuhan listrik secara merata.
Dalam melaksanakan peranan tersebut di atas, koperasi dan badan usaha lain dapat melakukan kerjasama dengan badan usaha lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 8
Izin Usaha Ketenagalistrikan kepada koperasi dan badan usaha lainnya diberikan dengan cara sesederhana mungkin dengan memperhatikan asas pemerataan.
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Kerjasama yang dilakukan oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dengan badan usaha lain dimaksudkan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugasnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Pasal 11
Ayat (1)
Yang dimaksudkan dengan kepentingan umum ialah bahwa usaha ketenagalistrikan tersebut dilaksanakan untuk kepentingan masyarakat.
Ayat (2)
Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum dalam melaksanakan kewenangannya wajib menunjukkan surat kuasa/izin usaha atau salinannya yang sah kepada mereka yang berhak atas tanah, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan, dengan memberitahukan tentang maksud dan tempat-tempat pekerjaan yang akan dilakukan.
Pasal 12
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "diselesaikan" ialah bahwa ganti rugi atas harga yang layak telah dibayar lunas atau telah mendapatkan penggantian dalam bentuk lain, misalnya antara lain ditukar dengan tanah di tempat lain yang sepadan atau seimbang.
Pasal 13
Pengertian "akan digunakan" meliputi jangka waktu sejak ditetapkannya Keputusan Kepala Daerah mengenai rencana penggunaan tanah untuk usaha penyediaan tenaga listrik sampai berakhirnya batas waktu yang ditetapkan. Pada jangka waktu tersebut pemegang hak atas tanah tidak diizinkan untuk mengadakan perubahan mengenai hak atas tanah, bangunan, dan tumbuh-tumbuhan di atasnya. Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam Keputusan tersebut telah dilampaui dan ternyata pembangunan sarana untuk usaha penyediaan tenaga listrik tidak jadi dilaksanakan, maka Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan atau Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan wajib memberikan ganti rugi atas pembatalan penggunaan tanah yang bersangkutan. Orang-orang yang bertujuan untuk memperoleh ganti rugi, dengan mendirikan bangunan atau menanam tumbuh-tumbuhan di atas tanah yang akan atau sudah digunakan untuk usaha penyediaan tenaga listrik, tidak diberikan ganti rugi.
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Penyediaan tenaga listrik kepada masyarakat oleh Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk kepentingan Umum wajib diberikan dengan mutu dan keandalan yang baik dan dengan pelayanan yang cepat, mudah, dan layak.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 16
Dalam mengatur dan menetapkan harga jual tenaga listrik, Pemerintah senantiasa memperhatikan kepentingan rakyat serta kemampuan dari masyarakat. Tingkat harga berpedoman pada kaidah-kaidah industri dan niaga yang sehat dengan memperhatikan antara lain hal-hal sebagai berikut :
a. atas dasar biaya produksi dengan memperhatikan efisiensi pengusahaan;
b. kelangkaan sumber energi primer yang digunakan;
c. skala pengusahaan dan interkoneksi sistem yang dipakai;
d. tersedianya sumber dana untuk investasi.
Untuk memenuhi permintaan tenaga listrik dari semua kelompok pemakai menurut sifat dan penggunaannya diadakan berbagai macam golongan pemakai berdasarkan sifat pemakaiannya.
Harga jual tenaga listrik antara Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan ditetapkan oleh Pemerintah atas dasar kesepakatan kedua belah pihak.
Penjualan atau pembelian tenaga listrik ke atau dari luar negeri diatur oleh Pemerintah.
Pasal 17
Pengusahaan adalah segala kegiatan usaha dan pengelolaan sarana yang menyangkut pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik. Instalasi adalah bangunan sipil dan elektromekanik, mesin-mesin, peralatan, saluran-saluran dan perlengkapannya yang digunakan untuk pembangkitan, transformasi, penyaluran, distribusi, dan pemanfaat "appliances") tenaga listrik.
Standardisasi adalah standardisasi sistem, standardisasi instalasi, standardisasi peralatan, dan standardisasi pemanfaat tenaga listrik.
Pasal 18
Ayat (1) dan Ayat (2)
Pembinaan dan pengawasan merupakan suatu urutan proses yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Dalam melakukan pembinaan dan pengawasan Pemerintah menetapkan pedoman untuk melakukan pengendalian, bimbingan, dan penyuluhan serta mengawasinya atas pekerjaan dan pelaksanaan usaha ketenagalistrikan dalam mencapai tujuan usahanya termasuk pengembangan usahanya secara berhasil guna dan berdaya guna.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Ayat (1)
Sanksi pidana yang diberikan cukup berat mengingat sifat bahaya dari tenaga listrik dan akibat yang dapat ditimbulkan cukup luas.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Ganti rugi dalam ayat (1) dimaksudkan santunan, bukan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Kewajiban tersebut dalam Pasal 15 ayat (1) pada hakikatnya melekat pada Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang Izin Usaha Ketenagalistrikan sejak diberikan Kuasa Usaha dan Izin Usaha, namun ketentuan ini baru dapat diterapkan bila Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan dan Pemegang izin Usaha Ketenagalistrikan Untuk Kepentingan Umum tidak memenuhi kewajiban sesudah ada hubungan hukum dengan masyarakat pelanggan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Penyidikan atas perbuatan pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini memerlukan keahlian dalam bidang ketenagalistrikan, sehingga perlu adanya petugas khusus untuk melakukan penyidikan di samping penyidik yang biasanya bertugas menyidik tindak pidana. Petugas yang dimaksud adalah antara lain pegawai yang bertugas di Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagalistrikan. Sedangkan yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ialah Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana beserta peraturan pelaksanaannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 25
Cukup jelas
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
--------------------------------
CATATAN
Kutipan: LEMBARAN NEGARA DAN TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA TAHUN 1985 YANG TELAH DICETAK ULANG
Undang-Undang RI dapat di download di : http:// hukum-bisnis-hukum-bisnis.blogspot.com
Tuesday, June 26, 2007
UU No. 15 / 1985
Posted by Hukum-Bisnis at 6/26/2007 09:37:00 PM
Labels: undang-undang
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment