Tuesday, June 26, 2007

UU No. 1 / 2002

code of laws - Indonesian - 1 / 2002

Undang-Undang RI dapat di download di
http:// hukum-bisnis-hukum-bisnis.blogspot.com

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa dalam mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yakni melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka mutlak diperlukan penegakan hukum dan ketertiban secara konsisten dan berkesinambungan;
b. bahwa terorisme telah menghilangkan nyawa tanpa memandang korban dan menimbulkan ketakutan masyarakat secara luas, atau hilangnya kemerdekaan, serta kerugian harta benda, oleh karena itu perlu dilaksanakan langkah-langkah pemberantasan;
c. bahwa terorisme mempunyai jaringan yang luas sehingga merupakan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan nasional maupun internasional;
d. bahwa pemberantasan terorisme didasarkan pada komitmen nasional dan internasional dengan membentuk peraturan perundang-undangan nasional yang mengacu pada konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan terorisme;
e. bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku sampai saat ini belum secara komprehensif dan memadai untuk memberantas tindak pidana terorisme;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, dan adanya kebutuhan yang sangat mendesak perlu mengatur pemberantasan tindak pidana terorisme dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang;

Mengingat :
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;


MEMUTUSKAN :
Menetapkan :
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
2. Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang baik sipil, militer, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual, atau korporasi.
3. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
4. Kekerasan adalah setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa, dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.
5. Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan yang dengan sengaja dilakukan untuk memberikan pertanda atau peringatan mengenai suatu keadaan yang cenderung dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas.
6. Pemerintah Republik Indonesia adalah pemerintah Republik Indonesia dan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.
7. Perwakilan negara asing adalah perwakilan diplomatik dan konsuler asing beserta anggota-anggotanya.
8. Organisasi internasional adalah organisasi yang berada dalam lingkup struktur organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau organisasi internasional lainnya di luar Perserikatan Bangsa-Bangsa atau yang menjalankan tugas mewakili Perserikatan Bangsa-Bangsa.
9. Harta kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud.
10. Obyek vital yang strategis adalah tempat, lokasi, atau bangunan yang mempunyai nilai ekonomis, politis, sosial, budaya, dan pertahanan serta keamanan yang sangat tinggi, termasuk fasilitas internasional.
11. Fasilitas publik adalah tempat yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum.
12. Bahan peledak adalah semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.

Pasal 2
Pemberantasan tindak pidana terorisme dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan kebijakan dan langkah-langkah strategis untuk memperkuat ketertiban masyarakat, dan keselamatan masyarakat dengan tetap menjunjung tinggi hukum dan hak asasi manusia, tidak bersifat diskriminatif, baik berdasarkan suku, agama, ras, maupun antargolongan.


BAB II
LINGKUP BERLAKUNYA
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG

Pasal 3
(1) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku terhadap setiap orang yang melakukan atau bermaksud melakukan tindak pidana terorisme di wilayah negara Republik Indonesia dan/atau negara lain juga mempunyai yurisdiksi dan menyatakan maksudnya untuk melakukan penuntutan terhadap pelaku tersebut.
(2) Negara lain mempunyai yurisdiksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), apabila:
a. kejahatan dilakukan oleh warga negara dari negara yang bersangkutan;
b. kejahatan dilakukan terhadap warga negara dari negara yang bersangkutan;
c. kejahatan tersebut juga dilakukan di negara yang bersangkutan;
d. kejahatan dilakukan terhadap suatu negara atau fasilitas pemerintah dari negara yang bersangkutan di luar negeri termasuk perwakilan negara asing atau tempat kediaman pejabat diplomatik atau konsuler dari negara yang bersangkutan;
e. kejahatan dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa negara yang bersangkutan melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
f. kejahatan dilakukan terhadap pesawat udara yang dioperasikan oleh pemerintah negara yang bersangkutan; atau
g. kejahatan dilakukan di atas kapal yang berbendera negara tersebut atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara yang bersangkutan pada saat kejahatan itu dilakukan.

Pasal 4
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana terorisme yang dilakukan:
a. terhadap warga negara Republik Indonesia di luar wilayah negara Republik Indonesia;
b. terhadap fasilitas negara Republik Indonesia di luar negeri termasuk tempat kediaman pejabat diplomatik dan konsuler Republik Indonesia;
c. dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memaksa pemerintah Republik Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
d. untuk memaksa organisasi internasional di Indonesia melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu;
e. di atas kapal yang berbendera negara Republik Indonesia atau pesawat udara yang terdaftar berdasarkan undang-undang negara Republik Indonesia pada saat kejahatan itu dilakukan; atau
f. oleh setiap orang yang tidak memiliki kewarganegaraan dan bertempat tinggal di wilayah negara Republik Indonesia.

Pasal 5
Tindak pidana terorisme yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dikecualikan dari tindak pidana politik, tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana politik, tindak pidana dengan motif politik, dan tindak pidana dengan tujuan politik, yang menghambat proses ekstradisi.

BAB III
TINDAK PIDANA TERORISME

Pasal 6
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 7
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

Pasal 8
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang:
a. menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara atau menggagalkan usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
b. menyebabkan hancurnya, tidak dapat dipakainya atau rusaknya bangunan untuk pengamanan lalu lintas udara, atau gagalnya usaha untuk pengamanan bangunan tersebut;
c. dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusak, mengambil, atau memindahkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan, atau menggagalkan bekerjanya tanda atau alat tersebut, atau memasang tanda atau alat yang keliru;
d. karena kealpaannya menyebabkan tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan hancur, rusak, terambil atau pindah atau menyebabkan terpasangnya tanda atau alat untuk pengamanan penerbangan yang keliru;
e. dengan sengaja atau melawan hukum, menghancurkan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain;
f. dengan sengaja dan melawan hukum mencelakakan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai atau merusak pesawat udara;
g. karena kealpaannya menyebabkan pesawat udara celaka, hancur, tidak dapat dipakai, atau rusak;
h. dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hukum, atas penanggung asuransi menimbulkan kebakaran atau ledakan, kecelakaan kehancuran, kerusakan atau membuat tidak dapat dipakainya pesawat udara yang dipertanggungkan terhadap bahaya atau yang dipertanggungkan muatannya maupun upah yang akan diterima untuk pengangkutan muatannya, ataupun untuk kepentingan muatan tersebut telah diterima uang tanggungan;
i. dalam pesawat udara dengan perbuatan yang melawan hukum, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pesawat udara dalam penerbangan;
j. dalam pesawat udara dengan kekerasan atau ancaman kekerasan atau ancaman dalam bentuk lainnya, merampas atau mempertahankan perampasan atau menguasai pengendalian pesawat udara dalam penerbangan;
k. melakukan bersama-sama sebagai kelanjutan permufakatan jahat, dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu, mengakibatkan luka berat seseorang, mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara sehingga dapat membahayakan penerbangannya, dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang;
l. dengan sengaja dan melawan hukum melakukan perbuatan kekerasan terhadap seseorang di dalam pesawat udara dalam penerbangan, jika perbuatan itu dapat membahayakan keselamatan pesawat udara tersebut;
m. dengan sengaja dan melawan hukum merusak pesawat udara dalam dinas atau menyebabkan kerusakan atas pesawat udara tersebut yang menyebabkan tidak dapat terbang atau membahayakan keamanan penerbangan;
n. dengan sengaja dan melawan hukum menempatkan atau menyebabkan ditempatkannya di dalam pesawat udara dalam dinas, dengan cara apapun, alat atau bahan yang dapat menghancurkan pesawat udara yang membuatnya tidak dapat terbang atau menyebabkan kerusakan pesawat udara tersebut yang dapat membahayakan keamanan dalam penerbangan;
o. melakukan secara bersama-sama 2 (dua) orang atau lebih, sebagai kelanjutan dari permufakatan jahat, melakukan dengan direncanakan lebih dahulu, dan mengakibatkan luka berat bagi seseorang dari perbuatan sebagaimana dimaksud dalam huruf l, huruf m, dan huruf n;
p. memberikan keterangan yang diketahuinya adalah palsu dan karena perbuatan itu membahayakan keamanan pesawat udara dalam penerbangan;
q. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan yang dapat membahayakan keamanan dalam pesawat udara dalam penerbangan;
r. di dalam pesawat udara melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat mengganggu ketertiban dan tata tertib di dalam pesawat udara dalam penerbangan.

Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pasal 10
Dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya, sehingga menimbulkan suasana teror, atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, membahayakan terhadap kesehatan, terjadi kekacauan terhadap kehidupan, keamanan, dan hak-hak orang, atau terjadi kerusakan, kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.

Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.

Pasal 12
Dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan :
a. tindakan secara melawan hukum menerima, memiliki, menggunakan, menyerahkan, mengubah, membuang bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kematian atau luka berat atau menimbulkan kerusakan harta benda;
b. mencuri atau merampas bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya ;
c. penggelapan atau memperoleh secara tidak sah bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif atau komponennya;
d. meminta bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya secara paksa atau ancaman kekerasan atau dengan segala bentuk intimidasi;
e. mengancam :
1) menggunakan bahan nuklir, senjata kimia, senjata biologis, radiologi, mikroorganisme, radioaktif, atau komponennya untuk menimbulkan kematian atau luka berat atau kerusakan harta benda; atau
2) melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf b dengan tujuan untuk memaksa orang lain, organisasi internasional, atau negara lain untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu.
f. mencoba melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, atau huruf c; dan
g. ikut serta dalam melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf f.

Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :
a. memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme;
b. menyembunyikan pelaku tindak pidana terorisme; atau
c. menyembunyikan informasi tentang tindak pidana terorisme,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 14
Setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup.

Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.

Pasal 16
Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.

Pasal 17
(1) Dalam hal tindak pidana terorisme dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana terorisme dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.

Pasal 18
(1) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah).
(3) Korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme dapat dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang.

Pasal 19
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, Pasal 16 dan ketentuan mengenai penjatuhan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.


BAB IV
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN
TINDAK PIDANA TERORISME

Pasal 20
Setiap orang yang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum, penasihat hukum, dan/atau hakim yang menangani tindak pidana terorisme sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 21
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat bukti palsu atau barang bukti palsu, dan mempengaruhi saksi secara melawan hukum di sidang pengadilan, atau melakukan penyerangan terhadap saksi, termasuk petugas pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun.

Pasal 23
Setiap saksi dan orang lain yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 24
Ketentuan mengenai penjatuhan pidana minimum khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 22, tidak berlaku untuk pelaku tindak pidana terorisme yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.


BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN

Pasal 25
(1) Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam perkara tindak pidana terorisme, dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
(2) Untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan, penyidik diberi wewenang untuk melakukan penahanan terhadap tersangka paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 26
(1) Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen.
(2) Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua atau Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
(3) Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
(4) Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya bukti permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan penyidikan.

Pasal 27
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :
1) tulisan, suara, atau gambar;
2) peta, rancangan, foto, atau sejenisnya;
3) huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.

Pasal 28
Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) untuk paling lama 7 x 24 (tujuh kali dua puluh empat) jam.

Pasal 29
(1) Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada bank dan lembaga jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran terhadap harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana terorisme dan/atau tindak pidana yang berkaitan dengan terorisme.
(2) Perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang telah dilaporkan oleh bank dan lembaga jasa keuangan kepada penyidik, tersangka, atau terdakwa;
c. alasan pemblokiran;
d. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
e. tempat harta kekayaan berada.
(3) Bank dan lembaga jasa keuangan setelah menerima perintah penyidik, penuntut umum, atau hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib melaksanakan pemblokiran sesaat setelah surat perintah pemblokiran diterima.
(4) Bank dan lembaga jasa keuangan wajib menyerahkan berita acara pelaksanaan pemblokiran kepada penyidik, penuntut umum, atau hakim paling lambat 1 (satu) hari kerja terhitung sejak tanggal pelaksanaan pemblokiran.
(5) Harta kekayaan yang diblokir harus tetap berada pada bank dan lembaga jasa keuangan yang bersangkutan.
(6) Bank dan lembaga jasa keuangan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (4) dikenai sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 30
(1) Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang untuk meminta keterangan dari bank dan lembaga jasa keuangan mengenai harta kekayaan setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Dalam meminta keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap penyidik, penuntut umum, atau hakim tidak berlaku ketentuan Undang-undang yang mengatur tentang rahasia bank dan kerahasiaan transaksi keuangan lainnya.
(3) Permintaan keterangan harus diajukan secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas mengenai :
a. nama dan jabatan penyidik, penuntut umum, atau hakim;
b. identitas setiap orang yang diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme;
c. tindak pidana yang disangkakan atau didakwakan; dan
d. tempat harta kekayaan berada.
(4) Surat permintaan untuk memperoleh keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditandatangani oleh :
a. Kepala Kepolisian Daerah atau pejabat yang setingkat pada tingkat Pusat dalam hal permintaan diajukan oleh penyidik;
b. Kepala Kejaksaan Tinggi dalam hal permintaan diajukan oleh penuntut umum;
c. Hakim Ketua Majelis yang memeriksa perkara yang bersangkutan.

Pasal 31
(1) Berdasarkan bukti permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (4), penyidik berhak:
a. membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melalui pos atau jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa;
b. menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.
(2) Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik.

Pasal 32
(1) Dalam pemeriksaan, saksi memberikan keterangan terhadap apa yang dilihat dan dialami sendiri dengan bebas dan tanpa tekanan.
(2) Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana terorisme dilarang menyebutkan nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(3) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.

Pasal 33
Saksi, penyidik, penuntut umum, dan hakim yang memeriksa beserta keluarganya dalam perkara tindak pidana terorisme wajib diberi perlindungan oleh negara dari kemungkinan ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, baik sebelum, selama, maupun sesudah proses pemeriksaan perkara.

Pasal 34
(1) Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dilakukan oleh aparat penegak hukum dan aparat keamanan berupa :
a. perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental;
b. kerahasiaan identitas saksi;
c. pemberian keterangan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka.
(2) Ketentuan mengenai tata cara perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 35
(1) Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa hadirnya terdakwa.
(2) Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidang yang sekarang.
(3) Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau diberitahukan kepada kuasanya.
(4) Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan kasasi atas putusan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(5) Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana terorisme, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan harta kekayaan yang telah disita.
(6) Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapat dimohonkan upaya hukum.
(7) Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepada pengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (3).

BAB VI
KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN REHABILITASI

Pasal 36
(1) Setiap korban atau ahli warisnya akibat tindak pidana terorisme berhak mendapatkan kompensasi atau restitusi.
(2) Kompensasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pembiayaannya dibebankan kepada negara yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
(3) Restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), merupakan ganti kerugian yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau ahli warisnya.
(4) Kompensasi dan/atau restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan.
Pasal 37
(1) Setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
(2) Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Pasal 38
(1) Pengajuan kompensasi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada Menteri Keuangan berdasarkan amar putusan pengadilan negeri.
(2) Pengajuan restitusi dilakukan oleh korban atau kuasanya kepada pelaku atau pihak ketiga berdasarkan amar putusan.
(3) Pengajuan rehabilitasi dilakukan oleh korban kepada Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

Pasal 39
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dan pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2) memberikan kompensasi dan/atau restitusi, paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak penerimaan permohonan.

Pasal 40
(1) Pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi dilaporkan oleh Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga kepada Ketua Pengadilan yang memutus perkara, disertai dengan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, restitusi, dan/atau rehabilitasi tersebut.
(2) Salinan tanda bukti pelaksanaan pemberian kompensasi, dan/atau restitusi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada korban atau ahli warisnya.
(3) Setelah Ketua Pengadilan menerima tanda bukti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Ketua Pengadilan mengumumkan pelaksanaan tersebut pada papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.

Pasal 41
(1) Dalam hal pelaksanaan pemberian kompensasi dan/atau restitusi kepada pihak korban melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39, korban atau ahli warisnya dapat melaporkan hal tersebut kepada pengadilan.
(2) Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) segera memerintahkan Menteri Keuangan, pelaku, atau pihak ketiga untuk melaksanakan putusan tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal perintah tersebut diterima.

Pasal 42
Dalam hal pemberian kompensasi dan/atau restitusi dapat dilakukan secara bertahap, maka setiap tahapan pelaksanaan atau keterlambatan pelaksanaan dilaporkan kepada pengadilan.


BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL

Pasal 43
Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana terorisme, Pemerintah Republik Indonesia melaksanakan kerja sama internasional dengan negara lain di bidang intelijen, kepolisian dan kerjasama teknis lainnya yang berkaitan dengan tindakan melawan terorisme sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 44
Ketentuan mengenai :
a. kewenangan atasan yang berhak menghukum yakni :
1) melakukan penyidikan terhadap prajurit bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya yang pelaksanaannya dilakukan oleh penyidik polisi militer atau penyidik oditur;
2) menerima laporan pelaksanaan penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur;
3) menerima berkas perkara hasil penyidikan dari penyidik polisi militer atau penyidik oditur; dan
4) melakukan penahanan terhadap tersangka anggota bawahannya yang ada di bawah wewenang komandonya.
b. kewenangan perwira penyerah perkara yang :
1) memerintahkan penyidik untuk melakukan penyidikan;
2) menerima laporan tentang pelaksanaan penyidikan;
3) memerintahkan dilakukannya upaya paksa;
4) memperpanjang penahanan;
5) menerima atau meminta pendapat hukum dari oditur tentang penyelesaian suatu perkara;
6) menyerahkan perkara kepada pengadilan yang berwenang untuk memeriksa dan mengadili;
7) menentukan perkara untuk diselesaikan menurut hukum disiplin prajurit; dan
8) menutup perkara demi kepentingan hukum atau demi kepentingan umum/militer,
dinyatakan tidak berlaku dalam pemeriksaan tindak pidana terorisme menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.

Pasal 45
Presiden dapat mengambil langkah-langkah untuk merumuskan kebijakan dan langkah-langkah operasional pelaksanaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.

Pasal 46
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dapat diperlakukan surut untuk tindakan hukum bagi kasus tertentu sebelum mulai berlakunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini, yang penerapannya ditetapkan dengan Undang-undang atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tersendiri.

Pasal 47
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 18 Oktober 2002PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,ttdMEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 18 Oktober 2002
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2002 NOMOR 106

Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi Sekretaris Kabinet
Bidang Hukum dan Perundang-undangan,

Lambock V. Nahattands



PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2002
TENTANG
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME


UMUM
Sejalan dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, maka Negara Republik Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan hukum dan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk memelihara kehidupan yang aman, damai, dan sejahtera serta ikut serta secara aktif memelihara perdamaian dunia.
Untuk mencapai tujuan tersebut di atas pemerintah wajib memelihara dan menegakkan kedaulatan dan melindungi setiap warga negaranya dari setiap ancaman atau tindakan destruktif baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Komitmen masyarakat internasional dalam mencegah dan memberantas terorisme sudah diwujudkan dalam berbagai konvensi internasional yang menegaskan bahwa terorisme merupakan kejahatan yang mengancam perdamaian dan keamanan umat manusia sehingga seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa termasuk Indonesia wajib mendukung dan melaksanakan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa yang mengutuk dan menyerukan seluruh anggota Perserikatan Bangsa-bangsa untuk mencegah dan memberantas terorisme melalui pembentukan peraturan perundang-undangan nasional negaranya.
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia merupakan kebijakan dan langkah antisipatif yang bersifat proaktif yang dilandaskan kepada kehati-hatian dan bersifat jangka panjang karena :
Pertama, Masyarakat Indonesia adalah masyarakat multi-etnik dengan beragam dan mendiami ratusan ribu pulau-pulau yang tersebar di seluruh wilayah nusantara serta ada yang letaknya berbatasan dengan negara lain.
Kedua, dengan karakteristik masyarakat Indonesia tersebut seluruh komponen bangsa Indonesia berkewajiban memelihara dan meningkatkan kewaspadaan menghadapi segala bentuk kegiatan yang merupakan tindak pidana terorisme yang bersifat internasional.
Ketiga, konflik-konflik yang terjadi akhir-akhir ini sangat merugikan kehidupan berbangsa dan bernegara serta merupakan kemunduran peradaban dan dapat dijadikan tempat yang subur berkembangnya tindak pidana terorisme yang bersifat internasional baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun yang dilakukan oleh orang asing.
Terorisme yang bersifat internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah dan bangsa Indonesia wajib meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemberantasan tindak pidana terorisme di Indonesia tidak semata-mata merupakan masalah hukum dan penegakan hukum melainkan juga merupakan masalah sosial, budaya, ekonomi yang berkaitan erat dengan masalah ketahanan bangsa sehingga kebijakan dan langkah pencegahan dan pemberantasannyapun ditujukan untuk memelihara keseimbangan dalam kewajiban melindungi kedaulatan negara, hak asasi korban dan saksi, serta hak asasi tersangka/terdakwa.
Pemberantasan tindak pidana terorisme dengan ketiga tujuan di atas menunjukkan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang menjunjung tinggi peradaban umat manusia dan memiliki cita perdamaian dan mendambakan kesejahteraan serta memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdaulat di tengah-tengah gelombang pasang surut perdamaian dan keamanan dunia.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme merupakan ketentuan khusus dan spesifik karena memuat ketentuan-ketentuan baru yang tidak terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang ada, dan menyimpang dari ketentuan umum sebagaimana dimuat dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini secara spesifik juga memuat ketentuan tentang lingkup yurisdiksi yang bersifat transnasional dan internasional serta memuat ketentuan khusus terhadap tindak pidana terorisme yang terkait dengan kegiatan terorisme internasional. Ketentuan khusus ini bukan merupakan wujud perlakuan yang diskriminatif melainkan merupakan komitmen pemerintah untuk mewujudkan ketentuan Pasal 3 Convention Against Terrorist Bombing (1997) dan Convention on the Suppression of Financing Terrorism(1999).
Kekhususan lain dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini antara lain sebagai berikut:
1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan payung terhadap peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
2. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini merupakan ketentuan khusus yang diperkuat sanksi pidana dan sekaligus merupakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang yang bersifat koordinatif (coordinating act) dan berfungsi memperkuat ketentuan-ketentuan di dalam peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme.
3. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan khusus tentang perlindungan terhadap hak asasi tersangka/terdakwa yang disebut "safe guarding rules". Ketentuan tersebut antara lain memperkenalkan lembaga hukum baru dalam hukum acara pidana yang disebut dengan "hearing" dan berfungsi sebagai lembaga yang melakukan "legal audit" terhadap seluruh dokumen atau laporan intelijen yang disampaikan oleh penyelidik untuk menetapkan diteruskan atau tidaknya suatu penyidikan atas dugaan adanya tindakan terorisme.
4. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini ditegaskan bahwa tindak pidana terorisme dikecualikan dari tindak pidana politik atau tindak pidana yang bermotif politik atau tindak pidana yang bertujuan politik sehingga pemberantasannya dalam wadah kerjasama bilateral dan multilateral dapat dilaksanakan secara lebih efektif.
5. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini dimuat ketentuan yang memungkinkan Presiden membentuk satuan tugas anti teror. Eksistensi satuan tersebut dilandaskan kepada prinsip transparansi dan akuntabilitas publik (sunshine principle) dan/atau prinsip pembatasan waktu efektif (sunset principle) sehingga dapat segera dihindarkan kemungkinan penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh satuan dimaksud.
6. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan tentang yurisdiksi yang didasarkan kepada asas teritorial, asas ekstrateritorial, dan asas nasional aktif sehingga diharapkan dapat secara efektif memiliki daya jangkau terhadap tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini yang melampaui batas-batas teritorial Negara Republik Indonesia. Untuk memperkuat yurisdiksi tersebut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat juga ketentuan mengenai kerjasama internasional.
7. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini memuat ketentuan tentang pendanaan untuk kegiatan teroris sebagai tindak pidana terorisme sehingga sekaligus juga memperkuat Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
8. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tidak berlaku bagi kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum, baik melalui unjuk rasa, protes, maupun kegiatan-kegiatan yang bersifat advokasi. Apabila dalam kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut terjadi tindakan yang mengandung unsur pidana, maka diberlakukan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan ketentuan peraturan perundang-undangan di luar Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
9. Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini tetap dipertahankan ancaman sanksi pidana dengan minimum khusus untuk memperkuat fungsi penjeraan terhadap para pelaku tindak pidana terorisme.
Penggunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk mengatur Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme didasarkan pertimbangan bahwa terjadinya terorisme di berbagai tempat telah menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil serta menimbulkan ketidakamanan bagi masyarakat, sehingga mendesak untuk dikeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang guna segera dapat diciptakan suasana yang kondusif bagi pemeliharaan ketertiban dan keamanan tanpa meninggalkan prinsip-prinsip hukum.


PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Cukup jelas
Pasal 3
Tuntutan yurisdiksi negara lain tidak serta-merta ada keterikatan Pemerintah Republik Indonesia untuk menerima tuntutan dimaksud sepanjang belum ada perjanjian ekstradisi atau bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana, kecuali Pemerintah Republik Indonesia menyetujui diberlakukannya asas resiprositas.
Pasal 4
Pasal ini bertujuan untuk melindungi warga negara Republik Indonesia, Perwakilan Republik Indonesia dan harta kekayaan Pemerintah Republik Indonesia di luar negeri.
Pasal 5
Ketentuan ini dimaksudkan agar tindak pidana terorisme tidak dapat berlindung di balik latar belakang, motivasi, dan tujuan politik untuk menghindarkan diri dari penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan dan penghukuman terhadap pelakunya. Ketentuan ini juga untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas perjanjian ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana antara Pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara lain.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" adalah tercemarnya atau rusaknya kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lainnya.
Termasuk merusak atau menghancurkan adalah dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun ke dalam tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan terhadap orang atau barang.
Pasal 7
Yang dimaksud dengan "kerusakan atau kehancuran lingkungan hidup" lihat penjelasan Pasal 6.
Pasal 8
Ketentuan ini merupakan penjabaran dari tindak pidana tentang kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal XXIXA Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan "bahan yang berbahaya lainnya" adalah termasuk gas beracun dan bahan kimia yang berbahaya.
Pasal 10
Ketentuan ini diambil dari Convention on the Physical Protection of Nuclear Material, Vienna, 1979 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1986.
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Yang dimaksud dengan "bantuan" adalah tindakan memberikan bantuan baik sebelum maupun pada saat tindak pidana dilakukan.
Yang dimaksud dengan "kemudahan" adalah tindakan memberikan bantuan setelah tindak pidana dilakukan.
Pasal 14
Ketentuan ini ditujukan terhadap auctor intelectualis.
Yang dimaksud dengan merencanakan termasuk mempersiapkan baik secara fisik, finansial, maupun sumber daya manusia.
Yang dimaksud dengan "menggerakkan" adalah melakukan hasutan dan provokasi, pemberian hadiah atau uang atau janji-janji.
Pasal 15
Pembantuan dalam Pasal ini adalah pembantuan sebelum, selama, dan setelah kejahatan dilakukan.
Pasal 16
Yang dimaksud dengan "bantuan" dan "kemudahan" lihat penjelasan Pasal 13.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Cukup jelas
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Cukup jelas
Pasal 22
Ketentuan dalam Pasal ini bermaksud mempidana pelaku yang melakukan tindakan yang ditujukan kepada penyidik, penuntut umum, dan hakim.
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Cukup jelas
Pasal 25
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Jangka waktu 6 (enam) bulan yang dimaksud dalam ketentuan ini terdiri dari 4 (empat) bulan untuk kepentingan penyidikan dan 2 (dua) bulan untuk kepentingan penuntutan.
Pasal 26
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "laporan intelijen" adalah laporan yang berkaitan dan berhubungan dengan masalah-masalah keamanan nasional. Laporan intelijen dapat diperoleh dari Departemen Dalam Negeri, Departemen Luar Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman dan HAM, Departemen Keuangan, Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia, Kejaksaan Agung Republik Indonesia, Badan Intelijen Negara, atau instansi lain yang terkait.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Pengadilan Negeri" dalam ketentuan ini adalah pengadilan negeri tempat kedudukan instansi penyidik atau pengadilan negeri di luar kedudukan instansi penyidik. Penentuan pengadilan negeri dimaksud didasarkan pada pertimbangan dapat berlangsungnya pemeriksaan dengan cepat dan tepat.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 27
Cukup jelas
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Sanksi administratif dalam ketentuan ini misalnya tindakan pembekuan atau pencabutan izin.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Cukup jelas
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Perampasan harta kekayaan adalah perampasan harta kekayaan yang berkaitan dengan kegiatan terorisme.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi pihak ketiga yang beritikad baik.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kompensasi" adalah penggantian yang bersifat materiil dan immateriil.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ahli waris" adalah ayah, ibu, istri/suami, dan anak.
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 37
Rehabilitasi dalam Pasal ini adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain termasuk penyembuhan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta benda.
Pasal 38
Cukup jelas
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Cukup jelas
Pasal 42
Cukup jelas
Pasal 43
Ketentuan dalam Pasal ini dimaksudkan untuk efisiensi dan efektivitas penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidana terorisme.
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Cukup jelas
Pasal 47
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4232
Undang-Undang RI dapat di download di :
http:// hukum-bisnis-hukum-bisnis.blogspot.com

Sumber :
http://www.sinarharapan.co.id/berita/0308/12/opi01.html
UU Terorisme Harus Diamandemen

Oleh Rachland Nashidik

Pada 6 Maret 2003, DPR menerima Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.1/2002 menjadi Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (UU No. 15/2003). Dalam kesempatan yang sama, DPR menerima janji Pemerintah bahwa dalam jangka waktu satu bulan akan diajukan RUU amandemen terhadap Undang-undang baru tersebut.
Sekarang, hampir empat bulan kemudian, janji pemerintah di dalam mekanisme resmi ketatanegaraan Republik Indonesia itu belum juga dipenuhi. Anehnya, DPR juga tidak merasa perlu menagih. Kedua lembaga negara sama-sama tidak merasa perlu bertanggung-jawab terhadap apa yang mereka putuskan atas nama rakyat.

Keseimbangan Imperatif
Melindungi kebebasan dan keamanan warga adalah kewajiban negara (state duty). Itu ditegaskan oleh hukum internasional hak-hak asasi manusia dan diperintahkan oleh konstitusi setiap negara demokratik. Kebijakan negara yang komprehensif untuk melindungi warganya dari aksi-aksi terorisme, dengan demikian, bukan saja perlu -- tapi juga harus.
Produk legislasi antiterorisme, secara khusus undang-undang counter-terrorism, yang akhir-akhir ini terbit dan diberlakukan sebagai hukum di berbagai negara, pertama-tama bisa dipandang dari sudut keperluan itu. Hukum, dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of state power. Dengan mengingat ulang teori itu, bisa dikatakan bahwa produk legislasi antiterorisme sebenarnya perlu dan bersesuaian dengan kepentingan warga negara terhadap perlindungan hak-haknya.
Kendati demikian, harus selalu diingat: ”liberty and security of person” adalah hak-hak asasi manusia dari setiap warga negara yang -- selain tidak boleh dikurangi dalam keadaan apa pun (non-derogable) – bersifat tidak dapat diceraikan (indivisible). Adalah sangat berbahaya bila negara bertindak dalam pikiran keliru bahwa hak-hak fundamental itu bisa saling menggantikan.
Dalam menyusun kebijakan antiterorisme, negara harus memenuhi kewajibannya dengan benar, yakni menempatkan perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik perimbangan yang permanen dengan perlindungan terhadap ”security of person.”
Sayang, pada praktiknya, prinsip keseimbangan imperatif itu justru gagal dipenuhi oleh kebijakan antiterorisme di pelbagai negara. Laporan Amnesty Internasional memaparkan, sejak aksi terorisme yang mengerikan di New York, 11 September 2001, praktis semua negara, dari Australia hingga Zimbabwe, baik demokratik atau otoriter, semuanya berbaris ke dalam kebijakan yang fatal, yakni memaksa warganya memilih keamanan dari kebebasan.

Tiga Kritik Utama
Indonesia bukan pengecualian. Segera setelah aksi peledakan bom di Bali yang menggiriskan, pada 12 Oktober 2002 pemerintah mengeluarkan Perpu No.1/2002 (yang kemudian diterima DPR menjadi undang-undang). Masalahnya, isi undang-undang ini berpotensi mengembalikan format politik darurat Orde Baru yang telah terbukti merampas kedaulatan rakyat dan melanggar prinsip negara hukum. Ada paling kurang tiga kritik utama terhadap Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme itu.
Pertama, Undang-undang ini tidak membedakan act of terrorism secara tajam dan jelas dari political dissent. Ini, sebagian, karena hampir setiap pasal di dalamnya tidak disusun sebagai delik yang ketat. Akibatnya, banyak pasal yang bersifat multitafsir. Contohnya adalah pasal 20 yang antara lain menyatakan: ”…Tindakan ”mengintimidasi” terhadap penyidik...dapat digolongkan sebagai tindakan terorisme”. Tanpa pembatasan yang ketat terhadap apa yang dimaksud dengan ”intimidasi”, ia dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membatasi kebebasan pers atau kemerdekaan berpenda-pat yang kritis terhadap proses hukum yang sedang dijalankan.
Kedua, undang-undang ini menabrak general principles of law karena diizinkan untuk berlaku ”retroactiveî dan bersifat ex-post facto. Ini, pada satu sisi, adalah pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas, yakni prinsip kardinal di dalam hukum pidana. Namun, pada sisi lain, sebab undang-undang ini hanya diberlakukan secara surut terhadap peristiwa Bali, maka ia juga melanggar hak untuk diperlakukan sama di muka hukum (right to be treated equal before the law), persisnya hak dari korban-korban aksi bom sebelum kasus Bali.
Ketiga, Pasal 26 undang-undang ini mengizinkan laporan intelijen digunakan sebagai bukti permulaan bagi kegiatan pro-justicia. Pasal ini membuka peluang salah guna kewenangan badan intelijen bagi kepentingan politik pemerintah karena mengizinkan intervensi badan intelijen non-yudisial ke dalam kehidupan penegakan hukum.

Inpres No. 5/2002
Empat hari setelah Perpu No 1/2002 dikeluarkan, pada 22 Oktober 2002 pemerintah mengeluarkan Instruksi Presiden No. 5/2002. Isinya menetapkan Badan Intelijen Negara (BIN) sebagai koordinator bagi operasi intelijen.
Inpres tersebut disusun dengan kerancuan serius yang mengherankan dalam mendefinisikan peran dan kewenangan badan intelijen non-yudisial yang sebenarnya berbeda dan terpisah dari penyelidikan dalam kerangka penegakan hukum (judicial investigation). Penyelidikan dalam kerangka yudisial adalah monopoli dari aparat penegak hukum (law enforcement official). Untuk kepentingan itu, polisi dan jaksa sebenarnya telah memiliki organ-organ intelijennya masing-masing.
Peran dan kewenangan BIN seharusnya terbatas di dalam pengumpulan informasi dan penyusunan rekomendasi belaka bagi pengambilan kebijakan negara dalam sektor-sektor strategis. BIN bukan bagian dari aparatus penegakan hukum. Karena itu, BIN tidak boleh memiliki kewenangan yudisial yang merupakan monopoli aparat hukum, khususnya polisi dan jaksa.
Masalah makin serius, bila draft RUU Intelejen Negara yang disusun oleh BIN jadi diterima dan diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Disebut di dalam draft itu, BIN memiliki kewenangan yudisial untuk menangkap orang tanpa ada tuduhan sebelumnya, menahannya selama total 180 hari di sebuah tempat yang dirahasiakan, tidak memiliki hak untuk diam, dan tak memiliki hak untuk dikunjungi serta didampingi pengacara di dalam proses interogasi.
Menagih Janji Pemerintah
Pemerintah dan DPR sebenarnya mengakui bahwa Undang-undang Tindak Pidana Terorisme memiliki cacat-cacat serius. Buktinya, kedua lembaga negara bersepakat bahwa undang-undang tersebut harus diamandemen.
Pemerintah harus menepati janji untuk segera mengajukan RUU Amandemen bagi Undang-undang Tindak Pidana Terorisme. Prioritas sebaiknya diberikan kepada perubahan pasal 26 untuk secara permanen meniadakan kesempatan bagi intervensi dan keterlibatan badan intelijen non-yudisial ke dalam proses penegakan hukum.
Selain itu, amandemen sebaiknya dilakukan dengan mempertimbangkan perlunya penerapan sunset principle, yakni pemberlakuan hukum yang bersifat time-limited, khususnya bagi pasal-pasal yang dimaksudkan untuk memberi kewenangan luar biasa pada penegak hukum dalam menanggulangi terorisme. Pasal-pasal tersebut, bahkan mungkin undang-undangnya sendiri, harus dievaluasi kegunaan dan relevansinya oleh parlemen dalam perputaran waktu tertentu, misalnya setiap dua tahun.
Terorisme hanya bisa dicegah, ditanggulangi dan dipersempit ruang geraknya oleh kebijakan negara yang komprehensif bagi tata kehidupan politik demokratik, kesejahteraan sosial dan tegaknya keadilan. Undang-undang tindak pidana terorisme harus hanya merupakan salah satu instrumen dalam kebijakan antiterorisme. Ia tidak selamanya kita perlukan.
Ada alasan lain bagi pemerintah untuk segera menepati janjinya. Sebagian kelompok politik oposisi menuduh undang-undang ini sebagai hasil pesanan Amerika yang ”memusuhi Islam”. Tentu ini adalah tuduhan yang kurang serius. Namun pemerintah hanya bisa membantah dengan meyakinkan, bila amandemen segera dilakukan untuk memastikan bahwa undang-undang tersebut sepenuhnya ditujukan untuk menjaga keseimbangan imperatif di antara kebebasan dan keamanan, di atas dasar prinsip persamaan setiap warga di muka hukum.

Penulis adalah Direktur Program IMPARSIAL – the Indonesian Human Rights Monitor.

Sumber :
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0309/10/nasional/552590.htm
Revisi UU Terorisme Akan Beri Peran Lebih kepada TNI
Jakarta, Kompas - Pemerintah mengakui, salah satu maksud dari revisi atau penyempurnaan atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme adalah untuk memberi peran kepada Tentara Nasional Indonesia. Pemberian peran kepada TNI ini dinilai tidak bertentangan dengan ketetapan pemisahan kepolisian dari TNI karena sifat terorisme yang transnasional dan dapat dikategorikan sebagai bentuk ancaman kedaulatan negara dari luar negeri.
Demikian dikemukakan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra seusai rapat koordinasi bidang politik dan keamanan, Selasa (9/9). "Terorisme dalam arti yang luas itu menyangkut aspek keamanan sekaligus aspek hukum," ujar Yudhoyono.
Untuk penanganan terorisme secara total dan terpadu, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga intelijen memiliki peran dan porsi masing-masing dalam melawan terorisme. "Demikian juga TNI. TNI memiliki kemampuan, satuan-satuan yang dirancang, dididik, dan dilengkapi untuk menghadapi aksi teror," ujarnya.
Yudhoyono mengatakan, peran TNI akan berbeda dengan aparat lain dan akan diatur dalam revisi UU No 15/2003. "Sebagian sudah diatur dalam UU No 15/2003. Yang belum akan dipertajam dalam revisi UU itu," katanya.
TNI lama
Yusril mengaku telah berbicara panjang lebar dengan Panglima TNI Jenderal Endriartono Sutarto. Mengenai ketentuan dalam Ketetapan MPR No VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Kepolisian yang memisahkan secara tegas peran TNI dan kepolisian, dia meminta jangan dilihat terlalu kaku.
Menurut dia, terorisme dapat dilihat sebagai salah satu bentuk ancaman terhadap kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Karena itu, TNI memiliki dasar hukum ikut menanggulangi terorisme.
Menurut Yusril, dalam revisi UU No 15/2003 akan diberi dasar hukum yang jelas di mana kewenangan-kewenangan TNI dalam menanggulangi terorisme bukan saja dalam arti penyelamatan sandera. TNI juga dapat melakukan pencegahan, penangkalan, dan penggagalan suatu tindakan terorisme.
"Pemberian kewenangan kepada TNI itu tidak menyebabkan seolah-olah TNI akan kembali ke TNI lama. Tap No VII dan VIII Tahun 2000 memberi kemungkinan itu," ujarnya.
Meskipun peran dan koordinasi intelijen akan ditambah, Yusril menegaskan, aparat intelijen tidak akan diberi kewenangan untuk menahan dan menginterogasi seorang yang dicurigai akan melakukan aksi terorisme. (INU)

Sumber :
http://www.rnw.nl/ranesi/html/uu_anti_terorisme.html
Undang-Undang Anti Terorisme
Sangat Mengkhawatirkan

Sejak munculnya era reformasi di Indonesia, muncullah pula niat atau rencana untuk memperbarui/merancang UU baru. Selain di bidang ekonomi seperti UU Lembaga Pengawas Perbankan, UU Bank Indonesia, tentu ada pula UU mengenai politik seperti UU Parpol. Semua UU itu sangatlah penting untuk menggulirkan reformasi. Namun, ada UU yang sangat menentukan arah reformasi. UU tersebut adalah UU Anti Terorisme, lebih tepat lagi kalau disebut RUU Anti Terorisme, karena belum diperundangkan. Keinginan untuk merancang UU itu sebagian besar setelah peristiwa 11 September. Untuk membahas masalah ini kami ajak Anda berbincang dengan Munir, tokoh HAM yang karirnya cepat melunjak, terutama berkat kegiatannya di Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS), yang banyak membongkar kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia.
Beda Karakteristik
Munir: "Pertama-tama UU ini memang lahir dan diundangkan oleh pemerintah di bawah bayang-bayang kekhawatiran masyarakat. Problem terorisme yang muncul di Indonesia karakteristiknya berbeda dengan apa yang terjadi secara internasional. Karena itu, tidak bisa pemerintah menangkap gejala-gejala internasional itu ke dalam hukum nasional Indonesia, di mana problem terorismenya jelas pun tidak."
Terorisme Negara
"Di Indonesia terorisme memang ada, tapi sebagai terorisme negara. Artinya, negara sebagai pelaku teror. Kontrol politik terhadap rakyat, penggunaan hukum secara represif, pengisolasian orang dsb. Nah, sementara kalau kami memberlakukan UU Terorisme kami khawatir bahwa UU Terorisme ini menjadi alat bagi pemerintahan dan bagian-bagian dari kekuasaan untuk menghantam community-community masyarakat dengan alasan melakukan terorisme. Karena definisi terorisme juga nggak pernah jelas dalam konteks ini. Nah, ini yang memang menurut kami sangat mengkhawatirkan. Apalagi, kalau dilihat dari RUU yang sudah disusun pemerintah. Misalnya saja orang yang diduga melakukan tindakan terorisme tidak boleh didampingi oleh pengacara. Dia tidak punya hak untuk diam."
Penyalahgunaan UU Terorisme
"Peradilan militer kembali dihidupkan untuk kasus-kasus terorisme. Padahal kita tahu dalam pekerjaan kita dari community human rights mencoba memangkas seluruh mekanisme kewenangan pengadilan militer untuk kasus-kasus pidana. Karena di situ justru intervensi politik terus-menerus terjadi. Jadi agak aneh. Kemudian menurut kami RUU yang dibuat oleh pemerintah justru bertentangan dengan gagasan perubahan politik nasional untuk melahirkan sistem peradilan yang lebih baik, sistem hukum yang lebih baik dan memangkas berbagai problem impunity. Nah, saya khawatir RUU menjadi konsumsi internasional, tapi digunakan untuk penyelesaian problem-problem domestik. Jadi, problem internasional diakomodasi untuk penyelesaian persoalan-persoalan domestik yang menurut saya justru akan memberi implikasi terhadap hak asasi, terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa yang akan datang."
Gagasan Otoritarian & Stigma Baru
Radio Nederland: "Jadi, kalau begitu sebenarnya ucapan presiden AS, George Bush, untuk menghantam terorisme dunia itu, yang disambut oleh beberapa pemimpin negara termasuk Megawati, merupakan angin baik bagi orang-orang yang mau kembali ke zaman diktator, jaman totaliter dulu?"
Munir: "Saya kira ini memang sangat mudah untuk diputar ke sana, atas nama menghadapi terorisme untuk kemudian memunculkan gagasan otoritarian, di mana kontrol terhadap masyarakat kembali, pembatasan hak-hak sipil masyarakat dsb. Juga memberi stigma baru kepada beberapa community masyarakat sebagai teroris. Kita masih di Indonesia di mana mudahnya Hendropriyono menyebut konflik di Poso ada link-up konflik organisasi teroris internasional. Kemudian kita masih ingat juga bagaimana dengan mudah menteri luar negeri Indonesia menyatakan GAM adalah bagian dari terorisme internasional, misalnya. Jadi, ini ada kecendrungan bahwa persoalan-persoalan domestik tadi ditafsirkan ke luar. Dan lagi ada kekhawatiran apa yang terjadi di Pakistan. Kita masih ingat bahwa bagaimana banyak negara menyatakan ini perangkat demokrasi versus terorisme."
Rejim Otoriter Adalah Ibu Terorisme
"Tapi apakah betul bahwa demokrasi boleh menggunakan rejim otoriter untuk menghadapi terorisme? Karena menurut kami suatu rejim otoriter adalah ibu dari segala bentuk terorisme. Karena dia berjalan sebagai suatu sistem yang berkuasa atas penderitaan rakyatnya di mana dia dikungkung oleh pelbagai persoalan-persoalan dan dia diberi kewenangan-kewenangan. Itu justru lebih berbahaya. Maka kasus Pakistan itu menunjukkan bagaimana Pakistan mendapat dukungan besar untuk berhadapan dengan Taliban sementara dia sendiri rejim hasil kudeta militer yang strukturnya tidak demokratis. Bagaimana demokrasi menutup mata terhadap problem otoriterianisme atas nama menghadapi terorisme. Itu yang cukup mengkhawatirkan kita. Indonesia masih punya potensi untuk itu."
Universal Authority
RN: "Tapi masalah keamanan itu kan perlu juga. Apalagi setelah peristiwa 11 September."
Munir: "Ya sepakat bahwa harus ada suatu sistem. Karena menurut saya problemnya sekarang di dunia ini tidak mempunyai sistem. Pertama kalau usulan saya justru praktek terorisme seperti yang terjadi 11 September, itu harus bisa diakomodasi oleh hukum internasional. Sekarang misalnya ada rencana pembentukan International Criminal Court. Tapi itu baru basenya pada kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang genocide. Dan itu pun masih banyak negara yang menolak. Sampai hari ini itu tidak exist. Menurut saya harus ada suatu kejahatan lagi yang dimasukkan, yaitu kejahatan terorisme. Jadi, ada semacam universal authority untuk melakukan tuntutan terhadap pelaku terorisme, sehingga banyak negara yang sekarang menolak pembentukan international criminal court juga mendukung."
Perlindungan Hak Asasi Manusia
"Karena mereka berkepentingan bahwa ini bukan saja untuk mengontrol tentara mereka yang melakukan tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi di luar negeri, tapi juga untuk melindungi dia dari penyerangan terorisme, misalnya. Saya kira itu gagasan yang perlu dipikirkan. Itu salah satu usulan saya. Saya sudah menulis di beberapa media di Indonesia soal itu. Kemudian yang kedua, gagasan kita adalah bahwa secara nasional juga harus ada UU yang mengatur soal terorisme itu. Tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh against human right (melawan hak asasi manusia). Memang melawan terorisme harus ditujukan bagi perlindungan hak asasi manusia. Bukan justru sebaliknya membatasi dan melawan hak asasi manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan."
Definisi Teroris Belum Jelas
RN: "Dan yang paling penting tentunya definisi teroris itu sendiri ya."
Munir: "Ya sekarang nggak jelas. Definisi teroris ini lebih banyak konsep intelektual yang menganalisis secara politik, sosial dsb. Tapi belum ada definisi hukum yang bisa menjadi pegangan. (28/01/02)

Sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/0903/18/0501.htm

Penculikan tidak Dibenarkan UU
Yusril, ”Kalau Prosedurnya Salah, Silakan Diajukan Praperadilan”
JAKARTA, (PR).-
Serangkaian penangkapan dan penculikan orang-orang di berbagai kota di tanah air belakangan ini tidak pernah mengindahkan ketentuan Pasal 26 UU Terorisme. Penculikan tidak dibenarkan dalam ketentuan UU Terorisme yang telah disahkan pemerintah sehingga proses penangkapan itu harus diperbaiki, termasuk memperjelas pengertian dari bunyi pasal tersebut.
Demikian dikatakan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM), Yusril Ihza Mahendra usai pemberian Habibie Award 2003 kepada Prof. Bambang Hidayat, Prof. Sangkot Marzuki, dan Prof. I Made Bandem, di Jakarta, Rabu (17/9).
"Seperti kita ketahui, dalam kasus penangkapan akhir-akhir ini, belum pernah sekalipun ketentuan Pasal 26 UU Terorisme itu dipakai. Mungkin bukti permulaannya sudah lebih dari cukup sehingga tidak memerlukan ketentuan Pasal 26. Dulu (pembuatan UU Terorisme -red.) kekhawatirannya pada Pasal 26, tetapi kenyataannya tidak pernah dipakai. Belum pernah ada orang ditangkap berdasarkan Pasal 26. Oleh karena itu, kita mau memperbaikinya agar jelas pengertiannya," tandas Yusril.
Ia menambahkan bahwa seharusnya penangkapan mengacu pada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang juga menjadi acuan UU Terorisme. "Kita lihat dari segi UU Terorisme yang menggunakan aturan KUHAP, kecuali diatur lain oleh UU itu. Jadi, sebenarnya penangkapan-penangkapan yang dilakukan atas tuduhan apa pun, apalagi atas sangkaan dalam melakukan suatu tindakan teorisme tetap menggunakan hukum acara di dalam KUHAP dan hukum acara yang khusus diatur dalam UU teorisme itu," jelasnya.
Atas kasus penangkapan sejumlah anggota masyarakat belakangan ini, Menkeh dan HAM mengakui timbul kontroversi di masyarakat yang menganggap hal itu sebagai penculikan, sedangkan Kapolri Jenderal Pol. Da'i Bachtiar sudah menjelaskannya tindakan itu adalah penangkapan. "Tetapi, mungkin kurang terbuka kepada publik sehingga menimbulkan salah paham di pihak keluarga dan oleh para aktivis itu dianggap sebagai suatu penculikan," katanya.
Yusril menyatakan bahwa penculikan tidak dibenarkan di bawah UU Terorisme. Oleh karena itu, yang ada adalah penangkapan dengan prosedur penangkapan biasa. Namun, ia mengaku tidak mengetahui secara persis yang terjadi di lapangan, apakah mungkin penangkapan tidak pas dengan prosedur yang diatur dalam KUHAP atau UU Terorisme.
"Oleh karena itu, benar juga yang dikatakan Kapolri, kalau prosedur penangkapannya salah, silakan diajukan praperadilan sehingga diuji apakah penangkapan itu sah atau tidak menurut hukum. Jadi, saya berharap tidak berkembang spekulasi ke sana kemari. Apalagi berkembang isu, oh... ini menangkapi para pengurus masjid. Tidak ada maksud kita ke arah sana, apalagi saat saya mendisain UU Terorisme, saya dari partai Islam, tidak mungkin saya menyusun sesuatu yang akan menangkapi aktivis-aktivis Islam," paparnya.
Atas terjadinya kesalahan prosedur yang dilakukan Polri, Menkeh dan HAM berpendapat mungkin saja terjadi kesalahan prosedur dalam melakukan penangkapan. Oleh karena itu, masyarakat dipersilakan melakukan gugatan ke pengadilan melalui pra peradilan untuk diuji apakah penangkapan yang dilakukan polisi sesuai prosedur atau tidak. (A-88)***




No comments: