Oleh: OKY SYEIFUL R. HARAHAP
Belakangan ini banyak media massa memuat iklan perusahaan yang melakukan aksi kepedulian sosial. Aksi sosial diwujudkan dalam bentuk dana bantuan atau sembako kepada korban bencana alam, panti asuhan, dan pihak-pihak lain yang membutuhkan. Sayangnya, berbagai bantuan ini memang masih terkesan haus publikasi tanpa menyentuh akar masalah yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Seringkali bantuan tersebut hanya berguna sesaat saja bagi masyarakat, untuk selanjutnya masyarakat kembali pada kondisi nya semula. Memang, kalau kita renungkan, sesungguhnya praktek bisnis yang berkeadilan dan memiliki komitmen sosial adalah das sollen. Sedangkan praktek bisnis yang tidak memenuhi rasa keadilan masyarakat, adalah das sein.
Begitulah potrem perusahaan (korporasi) di Indonesia selama ini. Bahkan kecenderungannya, pembangunan korporasi-korporasi industri, apartemen, mall, semakin terasa marak di kota-kota besar, termasuk Kota Medan. Jika kita telaah lebih jauh, pembangunan industri sebenarnya memiliki dampak positif, karena selain dapat menyerap tenaga kerja, meningkatkan produktifitas ekonomi, juga dapat menjadi aset pembangunan nasional maupun daerah.
Tapi kenyataan bahwa selama puluhan tahun praktek bisnis dan industri korporasi Indonesia cenderung memarginalkan masyarakat sekitar, tetap tidak bisa ditampik. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009, mengenai permasalahan dan agenda pembangunan, menegaskan bahwa telah terjadi ekses negatif dari pembangunan, yaitu terjadinya kesenjangan antar golongan pendapatan, antar wilayah dan antar kelompok masyarakat. Betapa tidak, jika masyarakat yang sejak awal telah miskin, kenyataannya semakin termarginalkan dengan kehadiran berbagai jenis korporasi. Korporasi tidak melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) secara baik terhadap masyarakat. Alih-alih melibatkan dan memberdayakan masyarakat sekitar dengan melakukan community development, pihak korporasi cenderung membuat jarak dengan pihak masyarakat sekitar. Jika pun ada program yang dilakukan oleh pihak korporasi, biasanya bersifat charity, seperti memberikan berbagai sumbangan, santunan, sembako, dan lain-lain. Program charity ini menjadi dalih korporasi bahwa mereka juga memiliki kepedulian sosial dan telah berbuat sesuatu kepada masyarakat. Dengan konsep charity, kapasitas dan akses masyarakat tetap tidak beranjak dari kondisi semula, tetap marginal. Bahkan jika dihubungkan dengan kemiskinan dan pendidikan, charity menjadi program yang tidak tepat sasaran karena tidak bisa memutus mata rantai kemiskinan dan benang kusut pendidikan.
Sebenarnya pentingnya keterlibatan masyarakat telah ditegaskan oleh undang-undang. Pasal (5), (6), (7) UU Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 1997 merupakan pasal-pasal yang menerangkan mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat atas lingkungan hidup. Ditegaskan lagi dalam Pasal (33) dan (34) PP RI No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, tentang keterbukaan informasi dan peran masyarakat.
Pelibatan masyarakat sekitar untuk turut serta dalam perencanaan, pembangunan dan jalannya kegiatan korporasi menjadi krusial. Pelibatan masyarakat dengan cara-cara yang baik, dapat memunculkan pengertian masyarakat akan maksud dan tujuan proyek pembangunan korporasi. Selain itu, pelibatan masyarakat dapat menjadi mekanisme check & balances antara pihak masyarakat dengan pihak korporasi.
Mengacu pada hasil pertemuan antar korporat dunia di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on consumer policy) workshop 2002 di Port of Spain dalam pokok bahasan ‘Corporate Social Responsibility-Concepts and Solutions’, telah ditegaskan bahwa kewajiban korporat yang tergabung dalam ISO untuk mensejahterakan komuniti lokal di sekitar wilayah usaha.
Memang sampai saat ini belum ada pengertian tunggal mengenai Corporate Social Respinsibility (CSR). Tapi jika ditarik benang merahnya, CSR merupakan bagian stategi bisnis korporasi yang berkaitan dengan kelangsungan usaha dalam jangka panjang. Di Indonesia sendiri, definisi dan praktek CSR masih dalam diskursus. Hal ini membuat polemik seolah tak terelakkan, seperti ketidakpuasan masyarakat terhadap jenis praktek CSR yang dilakukan oleh korporasi.
Kalu kita renungkan, baiknya filosofi bisnis yang dimiliki sejak awal adalah pihak korporasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat sekitar. Begitu juga sebaliknya, masyarakat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pihak korporasi. Untuk itu, diperlukan keharmonisan dan keselarasan antara pihak korporasi dan masyarakat sekitar, agar menjadi relasi yang bersifat saling menguntungkan (simbiosis mutualistik).
Pihak korporasi akan kesulitan jika masih menggunakan paradigma lama, yaitu mengejar keuntungan yang setinggi-tingginya tanpa mempedulikan kondisi masyarakat sekitar. Hal ini akan memicu kecemburuan sosial dari masyarakat sekitar, yang dapat mengakibatkan konflik. Selain itu, perusahaan tidak dapat menggali potensi masyarakat lokal yang seyogyanya dijadikan modal sosial perusahaan untuk maju dan berkembang. Ini berbeda dengan konsep community development yang menekankan pada pembangunan sosial, pihak korporasi dapat diuntungkan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Selain dapat menciptakan peluang-peluang sosial-ekonomi masyarakat, menyerap tenaga kerja dengan kualifikasi yang dinginkan, mereka juga dapat membangun image sebagai pihak korporasi yang ramah dan peduli lingkungan termasuk terhadap masyarakat. Ini menjadi krusial karena persaingan bisnis dewasa ini dapat dikategorikan sebagai pertarungan pembentukan dan penjagaan image di mata konsumen/klien. Di sinilah korporasi dapat unggul dengan pembentukan corporate image yang ramah lingkungan dan memiliki kepekaan sosial. Keuntungan lain, dengan situasi dan kondisi usaha yang aman dan harmonis dengan warga sekitar, membuat perusahaan dapat menjalankan bisnisnya secara nyaman pula.
Pelaksanaan community development dapat dimaknai sebagai bentuk pengejawantahan dari corporate social responsibility (tanggung jawab sosial perusahaan) terhadap masyarakat sekitar lokasi usaha korporasi. Diharapkan, pelaksanaan community development menjadi sarana pembangunan masyarakat yang sesuai dengan konsep suistanable development dan pengaturan hukum yang responsif.
Peranan Hukum
Mochtar Kusumaatmadja (2002:88) mencatat bahwa hukum sebagai sarana pembangunan bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan. Dalam konteks perusahaan, berarti hukum berperan penting tidak hanya terhadap pemegang saham (shareholders), tapi juga mengatur berbagai pihak (stakeholders) dalam kegiatan korporasi agar berjalan sesuai dengan koridor keadilan sosial, selain untuk menjamin bahwa perubahan itu terjadi dengan cara yang teratur.
Kalau kita melihat keadaan ekonomi Indonesia saat ini termasuk kaitan antara korporasi dengan masyarakat, kita berharap adanya peraturan perundang-undangan yang baik serta dijalankannya law enforcement. Peraturan yang baik berarti peraturan yang memenuhi nilai-nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat (living law). Bukan saja masyarakat sekitar lokasi perusahaan, melainkan juga masyarakat dunia usaha itu sendiri. Jadi peraturannya harus memenuhi nilai-nilai dan aspirasi yang berkembang dari berbagai pihak tersebut.
Selama ini, meski beberapa korporasi mulai sadar akan pentingnya menjalankan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat, tapi lebih banyak lagi korporasi yang mangkir dari kewajibannya itu. Mencermati fenomena ini, dibutuhkan suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai konsep dan jenis praktek tanggung jawab sosial perusahaan (CSR). Ini diperlukan dalam kerangka law enforcement dan peningkatan ekonomi lokal dan nasional. Karena dari berbagai hasil penelitian, penerapan CSR dan kondisi finance perusahaan, memiliki korelasi yang positif, yaitu perusahaan yang menerapkan CSR justru memiliki kondisi keuangan yang baik. Penerapan CSR tidak lagi dianggap sebagai cost, melainkan investasi perusahaan.
Selama ini CSR memang bersifat voluntaryly (sukarela), wajar jika penerapannya pun bebas tafsir berdasarkan kepentingan masing-masing pihak. Di sini lah salah satu letak signifikansi pengaturan CSR di Indonesia, agar memiliki daya atur, daya ikat dan daya paksa. Tanggungjawab perusahaan yang semula adalah responsibility (tanggungjawab non hukum) akan berubah menjadi liability (tanggungjawab hukum). Otomatis perusahaan yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan dapat diberi sanksi. Kebijakan yang pro masyarakat dan lingkungan seperti ini sangat dibutuhkan ditengah arus zaman neo liberalisme. Untuk keperluan ini Agenda 21 disarankan menggunakan empat pilar pembangunan berkelanjutan (Soemarwoto: 2003), yaitu pro lingkungan hidup, pro rakyat miskin, pro gender dan pro lapangan kerja.
Dengan mematuhi berbagai peraturan hukum, maka perbedaan ‘lahiriah’ antara pihak korporasi di satu sisi sebagai pengusaha yang notabene memikirkan untung yang sebesar-besarnya, dengan pihak masyarakat (terutama masyarakat sekitar korporasi) yang menuntut hak-haknya, yang notabene diatur dan diakui oleh undang-undang, dapat dijembatani secara elegan. Hukum disini juga berfungsi sebagai panduan bagi kedua belah pihak dalam menentukan sikap dan tingkah lakunya sesuai dengan posisi dan perannya masing-masing.
Jika kemitraan ini terjalin secara baik, kedepannya pihak korporasi dan masyarakat dapat berhubungan secara simbiosis mutualistik dengan mengedepankan hubungan kekeluargaan. Konsep kemitraan dan kekeluargaan tampaknya akan merugikan pihak korporasi, karena membutuhkan proses ‘berbaik-baik’ dengan masyarakat sekitar, mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan masyarakat dan turut berkontribusi dalam pembangunan daerah sekitar. Tapi jika berpikir secara strategis, konsep ini justru dapat sangat menguntungkan pihak pengembang. Dengan kemitraan dan kekeluargaan, akan tumbuh trust (rasa percaya) dari masyarakat sekitar. Sense of belonging (rasa memiliki) perlahan-lahan muncul dari masyarakat terhadap korporasi sehingga masyarakat berpandangan bahwa kehadiran korporasi didaerah mereka menjadi berguna dan bermanfaat bagi semua. Menjadi logis, ketika kesadaran dan perasaan ini muncul, masyarakat siap untuk memberi kontribusi dan dukungan terhadap kegiatan korporasi di daerahnya. Kalau ini menjadi kenyataan, interaksi harmonis korporasi, masyarakat dan pemerintah akan terdengar bagai irama lagu yang menyejukkan jiwa.
Siapkah korporasi dengan hati yang tulus dan konsep yang cerdas melakukan ini semua? Semoga saja, karena tiada kata terlambat.
Penulis adalah Alumni Program Magister Ilmu Hukum Bidang Kajian Utama Hukum Bisnis Universitas Padjajdaran, Sekjend Club of Bandung
Friday, June 22, 2007
Perusahaan & Tanggung Jawab Sosial
Posted by Hukum-Bisnis at 6/22/2007 09:07:00 PM
Labels: article
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment